Minggu, 08 Juli 2012

Informasi Persediaan Stok Laminine


Sehubungan dengan keterbatasan stok Laminine yang ada saat ini, maka sementara ini pengiriman produk laminine bersifat 'INDENT' dengan perkiraan produk laminine akan tiba di Indonesia pada minggu ketiga bulan Juli 2012.
Kami mohon maaf sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan ini.

Jumat, 30 Maret 2012

Terapi Autis dengan Berkuda


Yogyakarta, Anak autis biasanya sulit kontak mata dan susah berinteraksi dengan orang lain. Tapi banyak anak autis yang justru bisa berinteraksi dengan hewan. Kuda merupakan salah satu hewan yang digunakan untuk terapi autis.

Kuda membantu memecahkan hambatan komunikasi pada anak autis. Anak autis terkadang sangat nyaman dengan hewan karena hewan tak pernah menghakiminya.
Selain kuda, terapi untuk anak autis yang banyak dikembangkan adalah terapi perilaku, terapi wicara, terapi bermain, terapi dengan lumba-lumba dan masih banyak lainnya.
Terapi menunggang Kuda ini memang belum banyak dilakukan di Indonesia. Namun, kini UGM telah membuka layanan terapi autis dengan berkuda. 
Program yang telah berjalan mulai awal Maret 2012 ini dikembangkan oleh Gadjah Mada Equestrian Center (GMEC), suatu unit kegiatan yang dibentuk bersama-sama antara unit kegiatan mahasiswa (UKM) Berkuda UGM, Laboratorium Ternak Potong dan Kesayangan Fakultas Peternakan (Fapet) UGM, serta Direktorat Kemahasiswaan UGM.

Ketua GMEC, Ir. Edi Suryanto, M.Sc., Ph.D., menyebutkan terapi dengan berkuda ini merupakan salah satu program yang ditawarkan oleh GMEC. Hingga saat ini terdapat 6 murid yang mengikuti terapi autis dengan berkuda, lima diantaranya dari Sekolah Autis Fajar Nugraha, dan satu orang dari SLB Damayanti.
Edi menyampaikan anak-anak penderita autis disini diajak untuk berinteraksi dengan Kuda. Kegiatan ini diharapkan mampu membantu konsentrasi pada penderita. Selain itu juga membantu dalam bersosialisasi dengan anak-anak lainnya. 

"Anak-anak diberikan kegiatan mulai dari dilatih memberi makan, menyisir rambut dan ekor, memandikan, memasang pelana serta menunggang Kuda," ungkap Edi dalam rilis yang diterimadetikHealth, Sabtu (31/3/2012).

Terapi dilakukan setiap hari Minggu pagi, mulai pukul 08.00-09.00 WIB. Bertempat di lahan UGM yang dikelola Fakultas Peternakan di Jalan Gambiran, Karangasem, Sleman.
Terapi ini dituturkan Edi, mampu membantu konsentrasi dan mengurangi agresifitas penderita autis. 

"Berinteraksi dengan Kuda menimbulkan rasa senang pada anak autis serta membantu memfokuskan konsentrasi," jelas Edi yang juga memegang jabatan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Pengembangan Usaha Fakultas Peternakan ini.
Selain membuka program terapi autis denga berkuda, GMEC juga menawarkan sekolah berkuda (riding horse). GMEC mengajarkan kemampuan menunggang kuda bagi siswanya meliputi latihan dasar menunggang kuda (basic riding), tunggangan serasi (dressage), halang rintang (show jumping), cross country, dan endurance. Latihan dilakukan selama 1 jam, 4 kali dalam sebulan. 
"Sekolah berkuda ini cukup mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Sejak dibuka Februari lalu terdapat sekitar 100 pendaftar, tapi kami hanya batasi menerima 20 orang karena baru memiliki 4 ekor Kuda," jelas Edi.

Psikolog perkembangan anak UGM, Prof. Endang Ekowarni menyebutkan terapi berkuda tergantung pada kondisi pasien dan terapis. Terapis autis juga harus menguasai karakter kuda tidak hanya untuk sekedar dikendarai. 


"Semua sangat tergantung pada kondisi penderita serta kemampuan pelatih dalam melakukan terapi," jelas Endang.

Seperti dilansir dari Telegraph, Sabtu (31/3/2012), Dr Temple Grandin, profesor yang fokus pada masalah pengaruh autis terhadap hewan di Colorado State University, mengatakan hewan memang sering menjadi titik sambungan antara anak autis dan orang normal.
Menurut Profesor Grandin yang kisah dirinya yang menderita autis pernah difilmkan ini, setiap gerakan yang berulang, seperti berkuda, yang mengharuskan seseorang untuk terus-menerus mencari dan menyesuaikan keseimbangan, merangsang wilayah otak yang bertanggung jawab untuk belajar.

Kurang Serotonin, Anda Mudah Naik Pitam


BILA akhir-akhir ini Anda cepat terpancing emosi atau gampang naik pitam, bisa jadi Anda kekurangan hormon serotonin dalam otak.  Serotonin, yang juga dikenal sebagai hormon yang mengendalikan mood, menurut temuan  para ahli di Inggris ternyata juga memainkan peran penting dalam mengatur emosi seperti amarah atau agresivitas.
Seperti dipaparkan Molly Crockett,  psikolog dari Universitas Cambridge dalam Journal Science,serotonin yang juga dikenal sebagaineurotransmitter (penghantar signal saraf) dan  menjadi target obat-obatan antidepresan,  diyakini dapat membuat respon seseorang menjadi agresif bila kadarnya dalam otak terbatas atau berkurang. 
Peran penting serotonin dalam mengendalikan impulse memang masih kontroversial, namun Crockett dan timnya mengklaim bahw riset mereka merupakan yang pertama membuktikan adanya hubugan kausalitas yang sebenarnya.
"Oleh sebab kami dapat memanipulasi secara langsung kadar serotonin serta mengobservssi dampaknya terhadap perilaku, kami dapat menyimpulkan adanya hubungan sebab akibat antara serotonin dan respon agresif," ungkap Crockett.
Riset yang digagas Crocket. juga telah membantu mengungkap misteri mengapa seseorang menjadi sangat murka atau agersif ketika lapar. Dalam kondisi perut kosong, terang peneliti, produksi asam amino esensial menurun. Padahal, asam amino yang berasal dari makanan inilah yang  diperlukan tubuh untuk menghasilkan serotonin. 
Selama riset, Crockett beserta timnya menggunakan pengetahuan mereka untuk  memanipulasi kadar serotonin pada 20 orang sehat yang menjadi obyek penelitian.  Partisipan diminta untuk melakukan permainan situasi guna menguji respon mereka terhadap adil atau tidaknya dalam penawaran uang.
Dari pantauan terlihat  bahwa partisipan yang memiliki kadar serotonin rendah cenderung ingin menyisihkan atau mengalahkan yang lain, bahkan saat tersudut sekalipun. Hal itu ditunjukkan sebagai cara untuk menghukum seseorang yang membuat penawaran.
"Itu adalah respon yang dikendalikan amarah," ungkap Crockett.  
Hasil temuan ini menurut  Crockett setidaknya dapat membantu para dokter dalam mengobati pasien penderita depresi dan gangguan kecemasan. Para dokter dapat mengajarkan pasien bagaimana mengatur emosi saat membuat keputusan, khususnya dalam situasi sosial.